
Dulu kata ayahku, berbuat baik itu tidak perlu
banyak berpikir. Nanti hilang ketulusannya. Kini aku mencintai suamiku
juga tidak pernah bisa menemukan rangkaian kata yang tepat untuk
menjelaskannya.
Sebelum ini, aku tidak pernah tahu artinya
mencintai tanpa alasan. Sampai aku bertemu dengan Rudi. Dia
mengajarkanku segalanya, menembus batas-batas angkuhku sebagai wanita.
Membuatku lebih berani jujur pada diriku sendiri.
Dulu, aku begitu
mengagumi sahabat Rudi yang bernama Kris. Dia kharismatik, easy going
dan pintar. Aku merasa bahwa kami cocok. Sering pergi berdua, sama-sama
populer, teman-teman juga bilang kalau kami sama-sama tampan dan cantik.
Namun
kami terjebak pada suasana ini. Terlalu nyaman dalam zona teman, dia
pun tak ada inisiatif. Kris seolah memberi harapan dengan banyak
memberikan kebaikan dan perhatian. Sayangnya, hal ini tidak dibarengi
dengan kejelasan.
Sementara aku terus menjaga imageku sebagai
wanita. Aku merasa menjadi pihak yang harus diperjuangkan. Lalu Kris
mulai berubah dan sedikit menjaga jarak. Aku sedikit kesal dan
menceritakannya pada Rudi.
"Kenapa tidak kau katakan saja perasaanmu pada Kris?" tanya Rudi.
"Aku perempuan, Rud," jawabku menekankan.
"Lalu?" tanya Rudi lagi.
Pertanyaan
Rudi membuntukan pikiranku hingga aku berpikir bahwa dia tidak mengerti
aku. Tapi ia segera menjelaskan, "Nita, coba kau ambil sebuah kertas,
ambil bolpoin dan jelaskan kenapa kau menyayangi ayahmu dalam satu
kata."
Mendengar hal itu, aku berpikir, "Nggak nyambung, Rud," jawabku. Lantas aku meninggalkannya dengan wajah yang masam.
Namun
di malam harinya, aku mencoba apa yang dikatakan Rudi. Kuambil kertas
dan coba kugambarkan perasaanku dalam satu kata. Aku menyayangi ayahku
karena... Karena...
Baiklah, aku tak bisa mengatakan aku
menyayanginya karena ia adalah tulang punggung keluarga. Itu lebih dari
satu kata. Kucoba berpikir keras menemukan jawabannya, namun tak juga
kutemukan kata-kata yang pas.
Tanpa sadar, kutuliskan sebuah kata. CINTA.
Keesokan harinya, kutunjukkan tulisan itu pada Rudi. Dia tersenyum dan berkata, "Kau benar, Nit. Ini jawabannya."
Aku
memandanginya masih tidak mengerti. Kemudian Rudi berkata, "Cinta itu
tidak logis, Nit. Tidak butuh alasan. Jadi kalau kau suka pada Kris,
utarakan saja. Bukan karena kau adalah perempuan, maka kau membatasi
diri. Nanti kau yang akan menyesal."
Sebenarnya aku masih kurang
paham, tapi pada akhirnya, aku memang mengutarakan perasaanku pada Kris.
Aku sudah tahu dia akan menerimaku. Namun entah mengapa, ada yang
mengganjal.
Sejak itu, aku jarang melihat Rudi. Kalau aku bertanya pada Kris, dia bilang Rudi sedang konsentrasi untuk ujian akhir.
Ada
rindu yang menjalar di hatiku. Aku sangat senang setiap kali aku bisa
bertemu Rudi, walaupun itu hanya sebentar. Kris memang pria idamanku,
tapi dia terlalu flat. Kemesraan yang kubayangkan hanya angan-angan.
Nyatanya Kris adalah orang yang jaim untuk menjadi romantis dan hangat.
Hubungan
kami pun berakhir hanya dalam 4 bulan. Aku tidak merasakan patah hati.
Aku merasa baik-baik saja hingga lulus SMA. Namun tetap saja, aku
merindukan Rudi.
Aku hampir kehilangan suamiku itu, andai aku
tidak memberanikan diri bertanya pada Kris di mana Rudi berada. Rudi
akan sekolah ke Australia dan bagaikan adegan film aku mengejarnya ke
airport. Rudi kaget melihatku.
"Kok kamu ada di sini, Nit?" tanya Rudi.
"Kamu..kamu
kenapa tidak mengabariku... Kalau kamu mau ke luar negeri?" tanyaku
terengah-engah. Aku berlari mencari taksi dan berputar-putar
mengelilingi bandara agar bisa menemukan Rudi. Aku takut dia sudah
pergi.
"Kenapa, Nit?" tanya Rudi, ia seperti orang yang tidak percaya kalau aku ada di situ.
Aku
memegang tangan Rudi dan berkata, "Rud, kau harus bertanggung jawab.
Aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-katamu. Kau mengajariku jujur
pada perasaanku, dan kini aku menyadari bahwa..." aku berhenti sejenak
sambil masih terengah-engah.
"Bahwa apa, Nit?" tanya Rudi.
"..bahwa," aku makin tak tahan memandangnya. Serta merta aku memeluk Rudi dan berkata, "Rud, aku mencintaimu."
Rudi
terhenyak. Aku tahu dia terkejut, tapi aku bisa merasakan kalau dia
tidak menolak pelukanku. Rudi justru memeluk aku kembali tanpa banyak
bicara. Saat terdengar pengumuman tentang keberangkatan pesawat, Rudi
berkata lirih, "Tunggu aku, ya? Nanti kita berkirim e-mail. Jaga dirimu
baik-baik, Nit."
Rudi pun berangkat ke Australia. Kami berhubungan jarak jauh selama 3 tahun. Kemudian menikah di tahun keempat.
Selama
itu, hingga hari ini, aku menikmati cinta di antara kami. Mungkin tak
banyak kata-kata mesra keluar dari mulut Rudi. Namun ia melakukan banyak
hal yang bisa membuat cinta kami menjadi lebih realistis. Ia menjadi
suami yang selalu bisa mencintaiku tidak hanya lewat perkataan, tapi
juga perbuatan.
Kalau aku selalu terpekur dalam rasa jaim dan
tidak belajar untuk jujur, mungkin aku tidak akan bertemu Rudi. Cinta
memang tak butuh alasan, tak bisa dijelaskan, tapi bisa dituangkan dalam
perbuatan. Aku tak pernah bertanya apa Rudi mencintaiku dan kenapa dia
mencintaiku. Tapi yang aku tahu, dia tulus mencintaiku seperti aku
mencintainya.